Cerpen : Wanita di Pinggir Jembatan Layang

by - 2:26 PM


Seorang wanita muda duduk bersila di pinggir jembatan layang. Rambutnya yang panjang ber-higlight biru berkibar tak karuan ditiup angin. Helaiannya menari-nari kekiri kekanan, naik turun semerawut, membuat rambut yang mungkin semula lurus itu menjadi gimbal natural. Sesekali tangannya menyentuh helaian-helaian itu, mencoba merapikan, meski hal itu adalah kegiatan yang sia-sia karena angin akan kembali berpesta-pora dengan rambutnya lagi. Tak satu orang pun yang memperhatikan apa yang sedang dilakukannya. Apalagi untuk berandai-andai dengan apa yang sedang wanita itu pikirkan. Orang-orang di pinggir dan lewat jembatan asyik dengan pikiran dan aktivitasnya masing-masing. Sedangkan seorang wanita muda itu tetap duduk bersila di pinggir jembatang layang.

Gelombang kecil berarak di atas sungai Barito. Memantulkan bayangan langit dengan pantulan yang abstrak. Masalahnya, air-air itu tidak bertambah banyak literannya hanya karena ada beberapa tetes air mata yang jatuh dari dua bola mata seorang wanita muda yang  duduk sendirian. Tangannya memeluk erat palang-palang besi yang berbaris rapi.   Kepalanya menunduk pedih mempersilakan rambutnya yang mulai kusut menutupi separuh wajah putih susunya. Beberapa laki-laki muda dengan tampang di bawah rata-rata nekat mencoba menyapa wanita itu. Sekedar basa-basi bertanya kenapa sendirian atau mengapa bersedih. Ujung-ujungnya hanya ingin menambah panjang daftar buku telepon di ponselnya.  Sayangnya usaha mereka hanya dijawab oleh angin yang mulai mabuk arah. Dengan tampang kecewa, akhirnya beberapa laki-laki muda itu kembali ke posisinya semula sambil menunggu wanita muda lain yang mungkin kesepian.
Sebenarnya, wanita muda itu tidak sendirian. Dia juga tidak benar-benar duduk di pinggir jembatan. Dia ditemani oleh kenangan terburuk dan terberat di dalam kepalanya. Tubuhnya utuh tapi jiwanya tidak berhenti terseok-seok ke dalam masalalunya. Jatuh…jatuh…dan terus jatuh.
#      #     #
“Kenapa?” sebuah pertanyaan, lahir dari  bibir kering seorang wanita muda yang sembab kedua matanya.
“Kosong,” sebuah jawaban, respon dari  seorang lelaki yang duduk kaku dengan tatapan sekosong gelas dihadapannya.
“Apanya?” rupanya masih ada yang belum bosan untuk bertanya.
“Aku,” sebuah suara dengan nada lelah selelah wajah si empunya.
“Lalu?” masih ada harapan, mungkin begitu kata hati sang wanita.
“Ya, sudah,” kembali di jawab tanpa irama, datar.
“Sudah?” kali ini jelas bukan sebuah pertanyaan, mungkin hanya sekedar untuk meyakinkan.
“Iya, sudah. Kita sudahi saja,” terdengar tak sabar atau mulai kesal?
“Kenapa?” ada selaput tipis tiba-tiba menutupi kedua mata sang wanita.
“Kosong,”  ada jeda, ada jarak.
“Kenapa?” bibir wanita itu bergetar, air sudah tidak sabar untuk mengalir.
“Ada dia…”
Ada helaan nafas panjang di sudut ruang tamu sempit itu. Percakapan yang terjadi seakan dibuat bertele-tele seolah yang punya suara ogah untuk cepat-cepat mengakhirinya. Berbeda dengan tiga hari yang lalu disaat suara itu ditemani ribuan bunyi benda-benda saling bertubrukan di lantai dan dinding. Berbeda dengan seminggu yang lalu disaat suara itu hening dan hanya disela oleh  desahan panjang. Berbeda dengan sebulan yang lalu disaat tawa dan candaan bergema di antara sofa ruang tamu itu. Berbeda dengan setahun yang lalu disaat seorang bocah lelaki gugup menyatakan satu kata sesulit mengucapkan pidato kepada sang penguasa.
Laki-laki yang dulunya gugup itu kini berjalan angkuh penuh keyakinan seolah ia baru saja menemukan jalan yang benar. Kaki-kakinya mantap melangkahi pintu dan pergi dengan sedikit gerakan slowmotion seakan hatinya pun ikut terluka. Namun luka yang sebenarnya, ia tinggalkan di balik pintu itu. Diantara dinding-dinding yang pengap, diruang tamu sempit itu, di atas sofa biru.  Seorang gadis, dengan rambut panjang kusut masai dan berbau air mata, duduk tanpa gerakan sedikit pun. Ia mengerti semuanya berakhir, semuanya ada akhir. Tapi hatinya masih mengejar laki-laki yang kini sudah tak menghidangkankan apa-apa lagi untuknya.
Tak ada satu orang pun yang tinggal di rumah itu kecuali si gadis yang kini mengelus perlahan tiap inci dinding yang ia yakini masih meninggalkan sedikit kenangan. Hidungnya perlahan menghirup seluruh aroma lelaki itu yang mungkin masih tertinggal di sofa, di sprei, di dapur, di kamar mandi, dimana-mana. Ia baru menyadari bahwa semua yang ada di rumah itu beraroma sama seperti lelaki yang ia percaya sebagai kekasihnya itu. Tiba-tiba nafasnya sesak. Matanya rabun oleh bayangan. Tubuhnya kaku.
#   #   #
            Hari Sabtu. Satu minggu setelah kekosongan mengisi ruang tamu. Sang wanita tidak beranjak sedikitpun dari sofa biru berdebu. Hidupnya hanya seputar sofa-kamar mandi-dapur-sofa. Kadang dapur atau kamar mandi atau dua-duanya hilang dari siklus itu. Air mata seakan sampah. Terbuang dimana-mana. Tanpa harga.
Satu-satunya barang yang seakan hidup hanyalah televisi ukuran 14 inch. Wanita itu memandang hampa acara yang disiarkan. Jelas ia hanya menatap, tidak melihat. Mendadak rasa sakit meluap-luap dari dadanya. Sebuah lagu yang sering didendangkan seseorang yang pernah berharga, terdengar dari speaker televisi bervolume rendah.  Bayangan kenangan indah melesat sempurna. Wanita itu berdiri, berlari ke dapur seolah mengejar bayangan itu. Berhenti tepat di depan sebuah pisau pemotong sayur yang baru dibeli. Tangannya gemetar, namun jari-jarinya mantap mengenggam pisau tanpa karat itu. Tangan kirinya terulur pasrah ke depan. Siap menerima eksekusi dari tuannya sendiri. Telapak tangan kirinya berbalik, putih di atas hitam dibawah. Dingin menyentuh daging dekat nadi yang berwarna biru tua. Tangan itu terlalu kurus hingga jalur-jalur nadi terlihat dengan jelasnya. Getaran menguasai seluruh tubuhnya. Semenit kemudian terdengar kelontang keras suara jatuhnya si pisau. Sejenak, tidak terdengar suara nafas disitu. Hening, seolah Izrail baru saja lewat dan mengambil sisa-sisa kehidupan yang ada. Sungguh hening.
Seperempat menit kemudian, seseorang terbatuk-batuk. Memuntahkan air ke udara yang sudah terkontaminasi bau apak. Wanita itu masih hidup. Rasa sakit yang nyata telah menghalangi kesakitan hatinya. Ia pun perlahan berdiri dan mencoba untuk duduk tenang di sofa, sarangnya.  Televisi di depannya telah mati, bukan lewat remote control, melainkan dengan terjangan stileto yang haknya  setinggi 12 centimeter. Sukses membuat televisi itu menjadi kotak tanpa kaca yang tidak lagi berguna.
Mata wanita itu berjalan dari sudut kiri ke sudut kanan. Tidak mencari apapun. Hanya menjalari senti demi senti dinding dan lantai yang sudah mengkoleksi debu dari berbagai sumber. Setengah jam berlalu, perjalanan matanya tiba-tiba berhenti ketika bertemu dengan sebotol obat semprot anti nyamuk. Merangkak, ia menghampiri benda yang tidak ada nilai-nilai artistiknya itu. Ia mengguncangkannya pelan, terdengar gemerisik bunyi cairan di dalamnya. Mungkin masih ada setengah botol pikirnya saat itu.   Bergegas ia memutar tutup botol dan mendapati hidungnya bertemu dengan wewangian yang benar-benar tidak alami. Ia menahan nafas. Membuka mulut dengan enggan. Berpikir tentang penghianatan seseorang selama beberapa detik. Lalu…
“Hoeeek…!” cairan itu sukses keluar, sesukses  masuknya ke dalam kerongkongan. Rasanya jelas berbeda dengan minuman soda  atau susu panas. Tapi cairan itu benar-benar membakar daging tenggorokannya.  Beruntung ada air dalam vas bunga di meja kecil yang tengah ia sandari. Meski rasanya juga tidak sebaik air mineral biasa, paling tidak, tidak seburuk anti serangga itu. Nafasnya naik turun tidak teratur.  Perlahan ia kembali duduk, bersandar pada ketidakempukkan sofa favoritnya, sofa biru.
“Tidak ada harapan untukku pergi,” bisiknya, entah pada siapa. Wanita itu kembali tenang dan menatap. Terlihat sedang berkonsentrasi memikirkan sesuatu. Dengung lalu lintas di depan rumahnya terdengar nyaring. Tidak seperti biasa, ada beberapa truk polisi yang mengangkut narapidana lewat di jalan itu. Memperdengarkan bunyi gaduh dari sekedar bunyi angkot atau taksi bandara. Ia terlonjak. Masuk ke dalam kamar dan bergegas berganti pakaian.
“Aku ingin terlihat cantik,” bisiknya lagi. Ada nada bahagia di situ. Ia mengambil gaun tipis selutut berwarna putih. Rambut yang biasa terikat, ia geraikan. Matanya berkaca-kaca. Jari-jarinya menggenggam telepon genggam. Ia meloncat keluar rumah, menekan tanda untuk  menelepon ke nomor seseorang kemudian berdiri tegak di pinggir jalan raya.
“Halo,” telepon itu diangkat diseberang sana. Sayangnya, bukan suara laki-laki yang wanita itu harapkan  berbicara, tapi suara gadis asing yang terdengar manja. Ironisnya, wanita itu tidak tahu. Ia hanya menggenggam telepon itu, tidak menempelkannya ke telinga. Lalu, ketika di ujung jalan terlihat sebuah mobil sedan keluaran terbaru dan terlihat mahal  melaju dengan kencang, ia merentangkan tangannya dan berdiri di tengah jalan.  Kejadian itu berdurasi kurang dari lima detik. Beberapa orang yang kebetulan berada di pinggir jalan berteriak memintanya untuk bergerak. Suara gesekan ban mobil dengan aspal melengking dan menusuk ke setiap pasang telinga yang ada di tempat itu. Sebuah telepon genggam terlempar dan menabrak kaca mobil. Meninggalkan nada putus dan kebingungan di seberang sana. Membuat retakan kecil tepat di depan tempat duduk sopir yang juga spontan berteriak. Seorang wanita muda histeris di sampingnya.
“Braaaak!” sesuatu tergilas ban mobil. Semua orang menahan nafas. Ketegangan yang muncul dipecahkan oleh suara pintu mobil dibanting berikut dengan kuliah singkat suara laki-laki tua. Seorang kakek-kakek berdiri dan memaki di hadapan wanita berbaju putih yang terduduk di aspal dengan hidung yang hampir mencium  mobil. Gadis muda lain masih berada dalam mobil, menutup mulutnya dengan tangan kiri. Tangan kanannya mengetikkan pesan singkat kepada seorang sahabat.
Jel, co ku hampir nabrak ce yg mw bunuh diri!
Seseorang menerima sms itu dengan tampang bingung. Baru saja aku menerima telepon yang aneh, sekarang temanku yang dapat kejadian aneh batinnya. Tiba-tiba  ada yang datang memeluknya dari belakang, membawakan seikat bunga sambil berbisik,
“Sayang, balikin kartu teleponku yah. Kalau dosenku telepon, gimana?”
#  #  #
            Seorang wanita berlari dan menghentikan sebuah ojek. Dengan bingung tukang ojek menyerahkan helm standar dan bertanya tujuan kepada si wanita. Diiringi isak tangis tertahan dan tubuh yang gemetaran, si wanita menjawab sambil menaiki motor itu,
“Jembatan, Paman.”
Sepanjang perjalanan menuju jembatan, wanita itu mereka ulang kejadian yang baru ia alami. Ia belum mati, itu sudah jelas. Ketika membuka mata, kakek pemilik mobil menceramahinya. Telepon genggamnya hancur, setelah menabrak kaca depan mobil, terbanting ke aspal, lalu terlindas ban mobil yang sama. Semua orang yang ada disitu menghampirinya. Membuat lingkaran kecil. Sebagian bertanya, sebagian menuduh. Dengan kesadaran di bawah rata-rata, ia tidak bisa mengingat kejadian setelah itu. Tiba-tiba saja tangannya melambai dan sekarang berada dalam sebuah perjalanan tidak terrencana.
Ketika ban motor menyentuh tepian jembatan Barito, tukang ojek mengeluh sambil berteriak. Kalimat ‘aku tak punya uang’ yang keluar dari bibir si gadis memicu emosi dari alam bawah sadar si tukang ojek. Setelah memuaskan hatinya hingga mulutnya letih dengan umpatan, ia pergi. Tahu tidak akan mendapat apa-apa, ia biarkan wanita itu sendirian. Berjalan dengan telanjang kaki. Sepasang sendalnya menjadi cindera mata yang sepadan bagi si tukang ojek.
#  #  #
            Jembatan ini punya banyak kenangan. Mungkin itu kemungkinan terbesar mengapa seorang wanita yang bingung menjadikannya sebagai tempat tujuan.
“Sekarang, dia pasti mengira aku sudah mati,” air mata kembali menyapa sungai di bawah jembatan. Entah masih utuh atau hanya berupa embunnya saja.  Keinginannya untuk terjun bebas dan merasakan terbang untuk sepersekian detik sudah lenyap beberapa menit yang lalu. Padahal, ia tahu bahwa jika ia melakukannya, ia tak akan gagal lagi. Karena saat it terjun, tidak  akan ada jalan kembali. Ketakutan, rasa yang tidak enak, atau manuver tepat yang dilakukan oleh seorang kakek-kakek tidak akan mungkin bisa menghalangi niatnya.  Bahkan meski jantungnya masih berdetak ketika ujung helai rambutnya menyentuh permukaan air. Ia pasti akan mati. Ia tidak bisa berenang.
Rasa tersia-sia muncul seiring tenggelamnnya matahari, seiring menghilangnya orang-orang. Hanya tersisa wanita itu dan beberapa pasang anak remaja. Menatap senja yang tidak terlalu indah. Angin rupanya buru-buru menarik awan hujan. Terlalu cemburu untuk membiarkan para pasangan berkencan malam ini.  Dari jauh, suara adzan Magrib terdengar sumbang. Seorang anak kecil berteriak memanggil orang-orang untuk bertemu Tuhan.
“…menemui Tuhan,” suaranya serak. Ia berdiri. Memandang satu pasangan yang tersisa dengan iri. Ia menaiki pagar jembatan dengan percaya diri. Pasangan tersebut kaget dan berteriak. Mereka yakin wanita itu sudah hampir melompat. Si pria berlari sambil berharap masih sempat menghalangi wanita itu untuk bunuh diri. Dan peristiwa itu terjadi begitu cepat.
#  #  #
            Sebuah gang geger. Orang-orang yang tinggal di sepanjang gang mengepung sebuah rumah kontrakan. Ada satu mobil polisi di sana. Membentangkan pita kuning di sekeliling rumah. Seorang wartawan surat kabar mencoba bertanya kepada beberapa orang warga dan kepala penyelidik. Menggeleng-gelengkan kepala sambil menuliskan beberapa kata pada buku  hitam kecilnya. Ia memotret sepasang anak manusia tanpa busana yang terbaring di lantai. Tanpa nyawa. Polisi memperkirakan mereka baru saja  dibunuh tadi malam. Saat hujan lebat menyapu bersih kota dan membiarkan semua orang tak ingin berpisah dari ranjang. Teman korban yang pertama kali menemukan kedua mayat itu masih menangis tidak percaya. Ia bersumpah baru kemarin ia menghubungi sahabatnya. Ia yakin mereka di bunuh dengan rencana karena sebelumnya ia masih sempat mendengar cerita kalau sahabatnya itu menerima telepon mengerikan. Suara jeritan seorang wanita. Kala wanita  itu bercerita, seorang wanita lain bergaun putih tipis selutut tanpa sendal, berjalan menjauh dari gerombolan orang-orang.

Cerpen ini telah terbit di Media Kalimantan.
Oleh Noor Saadah

You May Also Like

2 komentar

  1. Hello Enoey,
    I am Dan of the editorial team of JustFiction Publishing, a publishing house specializing in publishing novels, fiction, poetry and short stories of all genres from new, aspiring and experienced authors.
    Would you consider starting a conversation about possibly publishing your work with us in English? You can reach me at d.(my surname)@(my website minus www).com
    I'd be delighted to tell you more about us!

    ReplyDelete