Shadow Kiss ~ Bahasa Indonesia (chapter 4)

by - 1:13 PM

INI DIMULAI.

Pada awalnya, semuanya tidak terlalu berbeda dari hari-hari sebelumnya. Dhampir dan Moroi menghadiri kelas-kelas terpisah di setengah hari pertama sekolah, lalu bergabung setelah makan siang.

Christian memiliki sebagian besar kelas siang yang sama yang pernah aku ambil semester lalu, jadi ini hampir seperti mengulang jadwalku sekali lagi. Perbedaannya adalah aku bukan lagi siswa di kelas ini. Aku tidak duduk di sebuah kursi atau melakukan sesuatu untuk dikerjakan. Aku juga merasa sangat tidak nyaman sejak aku harus berdiri di belakang kelas sepanjang waktu, bersama novis yang lain yang juga sedang menjaga Moroi. Diluar sekolah, hanya seperti apa yang biasa dilakukan. Moroi datang pertama. Pengawal adalah bayangan.

Ada godaan besar untuk berbicara dengan teman novis kami, terutama ketika sepanjang waktu kaum Moroi melakukan apa yang harus mereka lakukan dan berbicara diantara kaum mereka sendiri. Meskipun begitu, tidak ada satu pun dari kami yang memulai. Tekanan dan adrenalin di hari pertama membuat kami bersikap baik.

Setelah kelas Biologi, Eddie dan aku mulai menggunakan teknik pengawal yang disebut ‘mengawal pasangan’. Aku mengawal dalam jarak dekat dan berjalan bersama Lissa dan Christian sebagai pertahanan jarak dekat. Eddie, menjadi pengawal jauh, berjalan jauh dan memindai area yang lebih besar untuk melihat ancaman yang mungkin ada. 





Kami melakukan pola ini selama sisa hari ini sampai kelas terakhir tiba. Lissa memberikan Christian ciuman cepat di leher, dan aku baru menyadari kalau mereka mengambil kelas terpisah.

“Kalian tidak mengambil jadwal yang sama kali ini?” aku bertanya kaget, mundur ke samping ruang depan untuk menghindari lalu lintas siswa. Eddie sudah menyimpulkan kalau kami akan berpisah dan berhenti melakukan penjagaan jarak jauh untuk datang dan bergabung berbicara dengan kami. Aku tidak tahu bagaimana jadwal Lissa dan Christian berjalan di semester ini.

Lissa menyadari kekecewaanku dan memberikan senyuman simpati. “Maaf. Kami tetap akan belajar bersama setelah sekolah, tapi sekarang, aku harus pergi ke kelas menulis kreatif.”

“Dan aku,” Christian mengumumkan dengan angkuh, “harus pergi ke kelas ilmu kuliner.”

“Ilmu kuliner?” aku berteriak merana. “Kau memilih ilmu kuliner? Itu merupakan kelas yang tidak pernah memakai otak.”

“Tidak seperti itu,” ia membalas.” Dan jika memang seperti itu....sebenarnya, hey, ini kan semester terakhirku?” Aku mengerang.

“Ayolah, Rose,” Lissa tertawa. “Hanya satu kelas saja. Tidak akan menjadi – “ dia memotong pembicaraan ketika sebuah keributan datang dari dalam gedung aula. Kami dan setiap orang yang berada di dekat kami berhenti dan melihat. Satu dari instruktur pengawalku, Emil, praktis sedang keluar tidak dari manapun dan – berakting sebagai Strigoi – menangkap seorang gadis Moroi. 

Dia memutar gadis itu menjauh, menekan dadanya dan memaparkan lehernya seolah dia akan menggigitnya. Aku tidak bisa melihat siapa gadis itu, hanya rambut cokelat kusut, tapi pengawalnya adalah Shane Reyes. Penyerangan itu membuatnya terkejut – ini merupakan yang pertama dalam hari ini – tapi dia hanya meleset sedikit ketika menendang Emil ke samping dan merebut gadis itu. Dua pria berhadapan, dan semua orang melihat dengan antusias. Beberapa bahkan bersiut dan berteriak, menyemangati Shane. Satu diantaranya adalah Ryan Aylesworth. Dia begitu terpaku pada pertarungan itu – dimana Shane sedang menggunakan pasak latihannya, yang menyiratkan kemenangan – sehingga dia tidak menyadari dengan dua pengawal dewasa lain yang menyelinap diam-diam kearahnya dan Camille. Eddie dan aku menyadarinya pada saat yang bersamaan dan membeku, insting waspada kami berkembang menjadi ingin maju.

“Tetap bersama mereka,” Eddie berbicara padaku. Dia berhati-hati ke arah Ryan dan Camille yang baru saja mengetahui kalau mereka telah menjadi sasaran. Ryan tidak bereaksi sehebat Shane, terutama ketika dia harus mengahadapi dua penyerang sekaligus. Satu dari pengawal itu membuat Ryan lengah ketika yang satunya – Dimitri, sekarang aku melihatnya – menangkap Camille. Dia berteriak, tidak memalsukan ketakutannya. Dia jelas tidak menemukan perasaan menggetarkan hati ketika berada dalam rengkuhan tangan Dimitri seperti yang terjadi padaku. Eddie berhati-hati ke arah mereka, mendekati dari belakang, dan mendaratkan sebuah pukulan di sisi kepala Dimitri. Hal itu tidak mengganggu Dimitri, tapi tetap saja mengagumkan. Aku bahkan hampir tidak pernah bisa mendaratkan satu pukulan pun untuk Dimitri di semua latihan kami. Eddie seolah menyerang Dimitri untuk membebaskan Camille, dan Dimitri menghadapi ancaman baru ini. Dia berputar, anggun seperti seorang penari, dan maju ke arah Eddie.

Sementara itu, Shane sudah “menusukkan pasak” nya ke Strigoinya dan melompat untuk menolong Eddie, bergerak disekeliling sisi Dimitri yang lain. Aku menonton, Mengepalkan tangan terpengaruh, minatku bangkit dengan pertarungan pada umumnya dan dengan menonton Dimitri pada khususnya. Membuatku terpesona ketika melihat seseorang yang sangat mematikan bisa terlihat begitu indah. Aku berharap kalau aku merupakan bagian dari kehebohan ini tapi aku tahu aku harus waspada pada keadaan sekitarku kalau-kalau ada “Strigoi” lain yang menyerang kesini.

Tapi mereka tidak muncul. Shane dan Eddie dengan sukses “menyelesaikan” Dimitri. Sebagian dari diriku sedih karenanya. Aku ingin Dimitri selalu hebat dalam segala hal. Akan tetapi, Ryan yang mencoba menolong, gagal. Dimitri secara teknis sudah “membunuh”nya, jadi aku masih merasakan rasa senang memikirkan kalau Dimitri masih pembasmi Strigoi yang hebat.

Dia dan Emil memuji Shane karena kecepatan kakinya dan Eddie yang cepat tanggap dan berusaha keras dalam menghadapi ancaman dalam kelompok daripada ketika ia dalam latihan satu-satu. Aku mendapatkan sebuah anggukan karena waspada di belakang Eddie, dan Ryan mendapat hukuman karena tidak memperhatikan Moroinya.

Eddie dan aku saling menyeringai, senang karena mendapat penghargaan tinggi pada tes pertama ini. Aku tidak pernah menganggap tugas ini mudah, tapi tadi bukanlah permulaan latihan lapangan yang buruk. Kami bertos ria dan aku melihat Dimitri mengganggukkan kepala ketika ia pergi.

Dengan berakhirnya drama ini, kelompok berempat kami berpisah. Lissa memberikan satu senyuman dari balik bahunya dan berbicara padaku melalui ikatan kami, Selamat bersenang-senang di kelas kuliner! Aku memutar mataku tapi dia dan Eddie sudah melewati sudut gedung. ‘Ilmu Kuliner’ terdengar sangat menarik, tapi sungguh, ini hanyalah kelas mengkhayal indah mengenai betapa pentingnya kelas memasak. Meskipun aku mengatakan pada Christian kalau ini kelas yang tidak memerlukan otak, tapi aku harus menghormatinya. Aku bisa merebus air paling tidak. Tetap saja, ini sangat berbeda dengan kelas pilihan yang lain misalnya menulis kreatif atau kelas debat, dan aku tidak meragukan kalau Christian mengambil kelas ini hanya untuk membolos dari kelas lain dan bukan karena dia ingin menjadi koki suatu hari nanti. 

Paling tidak aku mendapatkan kesenangan melihatnya memasak kue atau sebagainya. Mungkin dia bahkan akan memakai celemek. Ada tiga novis lain di kelas itu yang sedang menjaga Moroi. Karena ruangan ilmu kuliner besar dan terbuka, dengan banyak jendela, kami berempat bekerja sama untuk menggabungkan penjagaan kami dan mengamankan seluruh ruangan. Ketika aku melihat para novis melakukan latihan lapangan mereka tahun lalu, aku bahkan tidak tertarik melihat pertarungannya. Aku tidak pernah terpikir kalau kerja tim dan strategi harus selalu dijalankan. 

Secara teori, kami berempat berada disini hanya untuk menjaga Moroi kami, tapi kami terjebak dalam tugas dimana kami melindungi seluruh kelas. Posku di dekat pintu darurat yang pasti menuju ke luar sekolah. Tidak sengaja, posku tepat di dekat dimana Christian melakukan tugasnya. Normalnya mereka memasak secara bekelompok di kelas, tapi tiga dari kelompok tersebut memiliki anggota yang lebih dari seharusnya. Dari pada memilih bekerja bertiga dalam kelompok, Christian dengan suka rela bekerja sendirian. Tidak satupun dari mereka yang mempertanyakannya. Banyak dari mereka yang masih memandang Christian dengan ketidakadilan yang sama seperti yang dilakukan Jesse. Dan yang membuatku paling kecewa adalah, Christian tidak membuat kue.

“Apa itu?” aku bertanya, melihatnya mengambil semangkuk sesuatu yang terlihat mentah, daging giling dari kulkas.

“Daging,” katanya, melemparkannya ke atas papan pemotong.

“Aku tahu itu, idiot. Daging apa?”

“Daging sapi cincang.” dia menarik wadah yang lain kemudian yang lain. “ Dan ini daging anak lembu. Dan ini daging babi.”

“Apa kau punya seperti T-Rex contohnya, yang bisa kau makan?”

“Hanya jika kau menginginkannya. Ini untuk daging cincang gulung."

Aku menatapnya. “Dengan tiga jenis daging?”

“Kenapa memakan sesuatu yang disebut daging cincang gulung jika kau sebenarnya tidak mendapatkan beberapa jenis daging dari semua itu?"

Aku menggoyangkan kepalaku. “Aku tidak percaya ini hari pertamaku bersamamu.”

Dia melirik ke bawah, serius memotong tiga daging kreasinya bersama-sama. “Kau yakin sudah membuat keputusan yang benar mengenai semua ini? Apa kau sungguh sangat membenciku? Aku dengar kau berteriak sekencang-kencangnya setelah keluar dari tempat berkumpul.”

“Tidak, aku tidak melakukannya. Dan ... aku tidak membencimu,” aku mengaku.

“Kau melemparkannya ke arahku karena kau tidak berpasangan dengan Lissa.” Aku tidak menjawab. Tebakannya tidak terlalu jauh.

“Kau tahu,” ia melanjutkan “ ini mungkin sebenarnya sebuah ide yang bagus untukmu berlatih dengan orang yang berbeda.”

“Aku tahu. Itu yang dikatakan Dimitri juga.” Christian meletakkan daging ke mangkuk dan mulai menambahkan beberapa bumbu.

“Lalu kenapa mempertanyakannya? Belikov tahu apa yang dia lakukan. Aku mempercayai apapun yang ia katakan. Sangat menyedihkan karena kita akan kehilangannya setelah kita lulus, tapi aku lebih suka melihatnya bersama Lissa.”

“Aku juga.” Dia berhenti dan menengadah, menatap kedua mataku. Kami berdua tersenyum, menggelikan bagaimana secara mengejutkan kami menyetujui hal yang sama. Sesaat kemudian, dia kembali melanjutkan pekerjaannya. 

“Kau juga hebat,” katanya, tidak terlalu pendendam. “Cara kau menangani sendiri ...” Dia tidak melanjutkan ucapan itu, tapi aku tahu tentang apa yang ia bicarakan. Spokane. Christian tidak bersamaku ketika aku membunuh Strigoi, tapi dia merupakan bagian alat untuk membantu kami bebas. Dia dan aku bekerja sama, menggunakan sihir apinya agar aku bisa melawan penawan kami. Kami bekerja sama bersama dengan baik, semua rasa permusuhan kami terkesampingkan.

“Kurasa kau dan aku punya hal lain yang lebih baik untuk dilakukan daripada berkelahi seanjang waktu,” aku merenung. Seperti mengkhawatirkan sidang Victor Dashkov, aku baru tersadar. Beberapa waktu, aku memutuskan untuk mengatakan pada Christian apa yang aku pelajari. Dia ada pada malam saat Victor jatuh, tapi aku memutuskan untuk menunda kabar itu. Lissa harus mengetahuinya terlebih dahulu.

“Yup,” Christian berkata tanpa mempedulikan pikiranku. “Tahan dirimu sendiri, tapi kita tidak terlalu berbeda. Maksudku, aku lebih pintar dan sangat lebih lucu, tapi di hari akhir nanti, kita sama-sama ingin dia selamat.” Dia ragu-ragu. “Kau tahu... Aku tidak akan mengambilnya darimu. Aku tidak bisa. Tidak ada satupun yang bisa, tidak selama kalian berdua memiliki ikatan itu.” 

Aku terkejut dia membicarakan hal ini. Sejujurnya aku menduga ada dua alasan mengapa dia dan aku selalu saja berselisih. Pertama kami sama-sama memiliki sifat yang sama, yaitu suka berdebat. Alasan yang lain – yang terbesar – adalah kami sama-sama cemburu dengan hubungan kami dengan Lissa masing-masing. Tapi, seperti yang ia katakan, kami memiliki motif yang sama. Kami peduli pada Lissa.

“Dan jangan berpikir kalau ikatan itu bisa memisahkan kalian,” kataku. Aku tahu ikatan itu mengganggunya. Bagaiman bisa kau merasakan suasana romantis dengan kekasihmu ketika pasanganmu memiliki koneksi dengan orang lain, meski orang itu hanyalah seorang teman?

“Dia peduli padamu ...” Aku tidak bisa memaksa diriku untuk mengatakan ‘Cinta’. “Dia memiliki sebuah tempat khusus untukmu dihatinya.”

Christian meletakkan adonanya di oven. “Kau tidak perlu mengatakannya. Aku punya perasaan kalau kita berada di batas saat kita mungkin akan berpelukan dan masing-masing mulai menyebutkan nama panggilan yang lucu.” Dia mencoba terlihat jijik dengan rasa sentimentalku, tapi aku bisa bilang kalau dia ingin mengatakan Lissa memang peduli padanya.

“Aku sudah punya nama panggilan untukmu, tapi aku akan mendapat masalah kalau mengatakannya di kelas.”

“Ah,” dia berkata bahagia. “Itulah Rose yang kukenal.” Dia kemudian berbicara dengan teman yang lain ketika daging cincang gulungnya masak, dimana sebenarnya mungkin lebih baik. Pintuku dalam keadaan mudah diserang, dan aku tidak seharusnya mengobrol, meski saisi kelas melakukannya. Diseberang ruangan, aku melihat Jesse dan Ralf berkerja bersama. Seperti Christian, mereka juga memilih kelas yang santai.

Tidak ada penyerangan yang terjadi, tapi seorang pengawal bernama Dustin datang dan membuat catatan untuk kami para novis yang siaga di posisi kami. Dia tepat berdiri disampingku ketika Jesse memilih pergi berjalan-jalan. Awalnya, kupikir semua itu hanya kebetulan – hingga Jesse berbicara.

“Aku menarik kembali apa yang sudah aku katakan, Rose. Aku sudah memikirkannya. Kau tidak marah karena Lissa atau Christian. Kau marah karena peraturan yang mengatakan kalau kau harus bersama seorang siswa, dan Adrian Ivashkov terlalu tua untuk jadi seorang siswa. Sepanjang yang aku dengar, kalian berdua sudah melakukan banyak praktek untuk mempelajari tubuh masing-masing.”

Candaan itu bisa jadi sangat lucu, tapi aku sudah belajar banyak untuk tidak berharap terlalu banyak dari Jesse. Aku tahu kenyataannya kalau dia tidak peduli padaku dan Adrian. Aku juga menduga kalau ia bahkan tidak mempercayai semua itu benar-benar terjadi. Tapi Jesse masih merasa kemarahan terhadapku yang sudah mengancamnya sebelumnya, dan ini adalah kesempatannya untuk kembali melanjutkannya. 

Dustin berdiri dibawah jangkauan jarak untuk mendengar, tidak tertarik dengan tingkah idiot Jesse. Dustin mungkin akan tertarik, jika aku meninju wajah Jesse hingga ke dinding. Tapi tidak berati aku harus diam . Pengawal berbibara dengan Moroi sepanjang waktu; Mereka hanya cenderung bersikap sopan dan tetap waspada pada keadaan sekitar. Jadi, aki memberikan Jesse sebuah senyuman kecil dan ucapan sederhana, “ Candaanmu selalu terasa menyenagkan, Mr. Zeklos. Aku hampir tidak bisa memperkirakannya.” Aku lalu berbalik dan mensurvey sisa ruangan.

Ketika Jesse menyadari kalau aku tidak melakukan hal lain, dia tertawa dan berjalan menjauh, tampaknya berpikir kalau dia sudah memenangkan kemenangan yang bagus. Dustin pergi sesaat setelah itu.

“Bajingan,” Christian mengumam, kembali pada tempat kerjanya. Kelas berakhir liman menit lagi.

Mataku mengikuti Jesse ke seberang ruangan. “Kau tahu sesuatu, Christian? Aku sangat senang mengawalmu.”

“Jika kau membandingkan aku dengan Zeklos, aku tidak akan benar-benar menganggapnya sebagai pujian. Tapi kesini, cobalah ini. Lalu kau akan benar-benar senag karena bersamaku.” Karya terbesarnya sudah selesai dan dia memberikan aku sepotong. Aku tidak bisa membayangkannya, tapi sesaat sebelum meatloaf itu habis, dia membungkusnya dengan bacon. 

“Hebat,” kataku. “Ini adalah makanan sampingan vampir terbaik yang pernah ada.”

“Hanya jika mentah. Bagaimana menurutmu?”

“Ini enak,” Aku berkata dengan malas. Siapa yang tahu kalau bacon bisa membuat perbedaan? “Kupikir kau bisa menjadi suami rumah tangga yang menjanjikan di masa depan ketika Lissa bekerja dan menghasilkan uang jutaan dolar.”

“Lucu, memang itulah mimpiku.”

Kami meninggalkan kelas dengan suasana hati yang ringan. Sesuatu telah tumbuh menjadi persahabatan diantara kami berdua, dan aku memutuskan kalau aku bisa mengatasi enam minggu ke depan untuk menjaganya.

Dia dan Lissa akan bertemu di perpustakaan untuk belajar – atau berpura-pura untuk belajar – tapi pertama-tama dia harus berhenti ke asramanya dulu. Jadi aku mengikutinya melintasi lapangan, kembali ke udara musim dingin yang semakin dingin sejak matahari terbenam tujuh jam yang lalu. 

Salju di atas jalan kecil, yang mencair di bawah matahari, kembali membeku dan membuat perjalanan berbahaya. Sepanjang jalan, kami bergabung dengan Brandon Lazar, seorang Moroi yang tinggal satu ruangan dengan Christian. Brandon tidak sedikitpin bisa menahan dirinya, mengulang serita petarungan yang ia saksikan di kelas matematikanya. Kami mendengarkan cara bicaranya, kami semua tertawa ketika memikirkan Alberta menyelinap melalui jendela. 

“Hey, dia mungkin sudah tua, tapi dia bisa menangani hampir dari kita semua,” kataku pada mereka. Aku memberikan Brandon wajah teka teki. Dia mendapatkan memar dan banyak noda merah di wajahnya. He had bruises and red splotches on his face. Dia juga mendapatkan beberapa bekas aneh di dekat telinganya.

"Apa yang terjadi padamu? Pernahkah kau bertarung dengan para pengawal juga?”
Senyumnya mendadak menghilang dan terlihat menjauh dariku.

“Ah, hanya terjatuh.”

“Ayolah,” kataku. Moroi mungkin tidak dilatih untuk bertarung layaknya kaum dhampir tapi mereka juga ikut masuk dalam pertarungan dengan sesamanya sama seperti yang terjadi pada yang lain. Sebagian besar, Brandon memang lebih menyenangkan.

“Itu adalah jawaban yang tidak memuaskan yang merupakan alasan paling palsu di dunia "

“Itu benar,” katanya, masih menghindari kedua mataku.

“Jika seseorang bercinta dengan mu, Aku bisa memberikan beberapa petunjuk.” Dia kembali menatapku, matanya terkunci.

“Biarkan saja.” Dia menghindari perseteruan atau apapun, tapi ada nada keras di dalam suaranya. Hampir seperti sia percaya jika mengatakan kalimat itu bisa membuatku menurut padanya.

Aku terkikik. “Apa yang sebernya kau ingin lakukan? Memaksa ku – “

Tiba-tiba aku melihat pergerakan di sisi kiriku. Sebuah bayangan bercampur dengan gelap di jejeran pohon pinus – tapi gerakannya cukup untuk menarik perhatianku. Wajah Stan muncul dari kegelapan melompat ke arah kami. Akhirnya, tes pertamaku.

Adrenalin memuncak dalam diriku sama kuatnya jika Strigoi asli memang muncul. Aku spontan bereaksi, mejangkau Brandon dan Christian. Gerakan pertama yang harus dilakukan adalah mengorbankan hidupku sendiri untuk mereka. Aku menyentak mereka berdua untuk menghentikan dan membalikan mereka dari penyerangku, meraih pasakku untuk melindungi Moroi - dan saat itulah ia muncul.
Mason.
Dia berdiri beberapa kaki di depanku, tepat di kanan Stan, terlihat seperti malam itu. Tembus pandang. Berkilauan. Sedih.

Rambut di tengkukku berdiri. Aku membeku, tidak bisa bergerak atau menyelesaikan serangan pasakku. Aku lupa dengan apa yang sedang aku lakukan dan sama sekali kehilangan perhatian terhadap orang-orang dan keributan yang ada disekitarku. Dunia bergerak lamban, segalanya memudar disekitarku.

Janya ada Mason – hantu, kilauan Mason bercahay dalam gelap dan terlihat dia sangat ingin mengatakan sesuatu. Perasaan keputusasaan yang sama yang aku alami di Spokane kembali padaku. Aku tidak bisa menolongnya saat itu. Aku tidak bisa menolongnya sekarang. Perutku terasa dingin dan kosong. Aku tidak bisa melakukan apapun selain berdiri disana, menduga-duga apa yang sebenarnya ingin ia katakan. 

Dia mengangkat satu tangan transparannya dan menunjuk ke arah sisi kampus, tapi aku tidak tahu apa maksudnya. Ada banyak hal disana dan sangat tidak jelas dia menunjuk ke arah mana. Aku menggelengkan kepalaku, tidak mengerti tapi mati-matian berharap aku bisa mengerti.

Penderitaan dalam wajahnya terlihat semakin dalam. Tiba-tiba, sesuatu membanting bahuku dan aku tersandung ke depan. Dunia kembali pada kenyataan lagi, menggertakku keluar dari keadaan alam mimpi dimana aku berada. Aku hanya bisa sempat melemparkan tanganku untuk membuat diriku tidak terhempas ke tanah. Aku menengadah dan melihat Stan berdiri di atasku.

“Hathaway!” ia menyalak. “Apa yang kau lakukan?” Aku mengerjap, masih mencoba melepaskan keanehan ketika melihat Mason lagi. Aku merasa lemas dan pusing. Aku melihat wajah marah Stan dan kemudian melirik ke arah dimana Mason tadi berada. Dia sudah menghilang. Aku mengembalikan perhatianku lagi pada Stan dan menyadari apa yang sudah terjadi. 

Dalam kebingunganku, aku sepenuhnya berjarak dari Stan ketika dia melancarkan serangannya. Dia sekarang sudah melingkarkan satu tangan ke leher Christian dan satunya lagi di leher Brandon. Dia tidak menyakiti mereka. Tapi hasil akhirnya sudah diputuskan. 

“Jika aku adalah Strigoi,” dia mengeram,” ada dua yang akan mati.”

Diterjemahkan langsung dari Novel Vampir Academy: Shadow Kiss karya Richelle Mead oleh Noor Saadah. This is truly  fanmade and  no profit work.

You May Also Like

0 komentar